----------SUGENG RAWUH----------

Sabtu, 30 Maret 2013

tawassul menurut nahdhatul ulama (NU)

KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai  Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU),  dalam sebuah artikelnya menulis bahwa  tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
·       Melalui tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwa bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh  Nabi Muhammad saw.
·         Melalui doa. Antara lain dengan menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tujuannya berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaikan itu diterima oleh Allah swt. Jumhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yangt terkurung di dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan amal yang pernah diperbuatnya,
·         Melalui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah:

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‘raf: 180)

·         Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa besar.
·         Melalui panggilan. Tawasul dalam bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh. Berdasarkan beberapa riwayat, antara lain: ―Mujahid meriwayatkan bahwa dia melihat seseorang sakit kakinya didekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata: ―Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai. Orang sakit tersebut lantas menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh. Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal yang dijadikan wasilah  biasanya adalah para Nabi, wali,dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya. Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makam-makam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 64:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Artinya:
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. .(QS.An-Nisa‘ :64).

Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang), bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat  dan berpindahnya ke alam barzah.
Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:

"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat ag ar memohonkan ampun untuk orang tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).

Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah: Para ulama; berkata, "Ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan membaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi sholat."Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:

Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring diatas  kuburannya dan bersabda: “Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalahMaha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta  para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi: “Dengan hak para nabi sebelumku”.

Dalam hadis lain juga disebutkan:

Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pastimengampuni kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.” Kemudian Allah berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).

Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi Adam a.s adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan yang sering diajukan adalah, Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW. Diketahui Sahabat Umar bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib ketika berdoa memohon hujan. 

Dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Umar Ibn Khaththab bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian berdoa, “Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.”(HR. Bukhari)

Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama‘ telah menjelaskan: ―Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al -Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga pernah dilakukan pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan bahwa para sahabat selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.  Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:

“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu datang kepada kholifahUmar dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”

Karena itu, demikian KH. A  Nuril Huda,  berdo‘a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: ―Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya. KH A Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan pendapatnya tentang bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah mati. Sebab ketika seseorang mati
maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di alam barzakh yang mana mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri.
Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang artinya:

Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga;
kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan. (HR Muslim)

ilustrasi maqam orang shaleh
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa‘i juz VI. Hadits di atas menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul, sebab apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo‘akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang. Ketika melintasi kubur kita disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga akan menjawab salam yang kita ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo‘akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo‘akan kepada yang berdo‘a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo‘a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo‘a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.Perlu  diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi yang disebut  mahallul qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat 

ya nabi sallam alaika ya rasul salam alaika”
(Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu )
Berkaitan dengan tawasul KH Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan bahwa dalam kalimatWahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu; yang diucapkan, seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran  tawashulkepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah saw.Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita juga selalu
Mengucapkan

 assalamualaika ayyuhannanabiyu”
(Salam kepada Engkau wahai Nabi)

KH Musthofa Agil Siradj  menjelaskan bahwa redaksi dari doa tersebut diharuskan memakai kata ganti (ka )atau kata ganti orang kedua atau  dlamir mukhatab, yang berarti kamu atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan  dlamir ghaib (hu) atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya
bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita. Maka pada setiap doa, setelah kita berucap Alhamdulillah segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kitasampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama Muhammad SAW, demikian pendapat  KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun praktek pelaksanaan tawassul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti
Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
1.   Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:  “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
2.     Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:  “Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3.      Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dan karena doanya pula.
Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua. Tiga macam cara tawasul ini semua memiliki dasar hukum yang jelas.
Dalil  tawasul  dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain: 

“Dari autsman bin Hunaif ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasululah, berdoalah kepada Allah agar menyembuhkan saya.” Beliau bersabda: “jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar)  lebih baik untuk kamu.” Laki-laki itu berkata: “berdoalah untuk saya, karena mataku benar-benar memberatkan merepotkan)ku.” Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang art i doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.” Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”

berdoa hanya kepada Allah
Hadist tersebut, bagi kalanggan yang membolehkan tawasul, dianggap jelas bahwa di sana Nabi  SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW. Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.
Dengarkan dalil tawasul dengan cara kedua antara lain hadist  dari Anas ra.ia berkata: 

Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jumat, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dari pintu masjid dan langsung menghadap kepada Nabi SAW seraya berteriak: “Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami. Rasulullah SAW lalu mengangkat tangan dan berdoa” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya. Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. “Kemudian Beliau berdoa: “ Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari. 

Di dalam hadits  tersebut ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah dengan kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa. kecuali ta‘at kepada-Nya.
Sedangkan dalil dari cara tawasul yang ketiga antara lain hadis dari 

Rabiah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada-  Mu dapat bersamamu di surga.” Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” kemudian beliau  bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).

Jadi, menurut kalangan NU, tawasul dengan orang mati tidak jadi masalah, malah justru dianjurkan, lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw. NU berpendapat bahwa tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, yang shaleh tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka. Karena memang, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma‘siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.

Dikutip dari :  FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho


Rabu, 27 Maret 2013

TAHLILAN DLAM PERSPEKTIF NU (nahdhatul ulama')

Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah ―syahadah yaitu -La ilaha illa Allah . Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan  dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia

berdoa

Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat  la ilaha illallah.  Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil di’itilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang  diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
 Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah. Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke  -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti  berkat,  bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil,  H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya,  berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di  tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknyaterus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu,  pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama,
bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat,  sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan. (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis,  memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di  balik jamuan tersebut, yaitu  ikramud  dla`if  (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang  laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik -baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa  berkat adalah hukumnya boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit.
Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW.
bersedekah
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‗alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditinggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 
'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya,  Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut:
―Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw,   seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda:  Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw. Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal
Allah swt berfirman:
Artinya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan  Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)

KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun.

 Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah: 

1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5
5. Surat al-Baqarah ayat 163 
6. Surat al-Baqarah ayat 255 
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 sampai ayat 286
8. Surat al-Ahzab ayat 33
9. Surat al-Ahzab ayat 56 
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
 
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan

1. Surat al-Baqarah ayat 286   
2. Surat al-Hud ayat 73
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah
6. Tasbih
Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa ―orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang telah meninggal dunia. Dari Mu‘aqqol ibn Yassar r.a:  "barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman)
Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalamdisini, yang juga menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit. Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat  Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.
Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam  Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah. kepada  Rasulullah SAW Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya.
membaca Al-quran
Bukankah seorang  yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah  tahshilul hashil  (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Taala  memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa  al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya  Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang mengatakan:
"Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al -Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahalasemua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan
kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihah, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU dipastikan ada pembacaan tahlil.
Haul adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa: Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan  perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syiib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap:
Assalâmualaikum bimâ shabartum fanima uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah)
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana  dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya,  menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat NU mengenai  tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur‘an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.


Dikutip dari :  FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho

Batman Begins Background3D Letter R