Syaikh Syihab Al-Din Abu al-futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, Iran Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. ia dikenal dengan syaikh al-isyraq atau Master of illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan Al-Maqtul (Yang Terbunuh). Julukan Al-Maqtul bekaitan dengan kematiannya yang dieksekusi. Al-Suhrawardi belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, yaitu Majduddin Al-jili, guru Fakhruddin Al-Raji. Dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan Al-Sawi, penyusun kitab Al-Bashair Al-Nashiriyyah. Selain itu ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis. Dan di Halb ia belajar kepada Al-Syafir Iftikharuddin.
Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan Tasawuf ditambah kecerdasannya yang tinggi, dalam kitab Thabaqat Al-Athiba menyebutkan bahwa Suhrawardi sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul Fiqih, begitu cerdas pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.
Karena kepiawaian Suhrawardi mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas, dan kritik yang tajam terhadap ahli-ahli fiqih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu Al-Barakat al- Baghdadi yang anti Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb (Aleppo) Suhrawrdi di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zhahir Syah anak dari sultan Shalahuddin Al-Ayyubi al-Kurdi.
A. Karya Karya Suhrawardi
Karya tulisan Suhrawardi tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan Gnostik dalam bahasa arab dan persia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokan karya Suhrawardi kedalam lima bagian, yaitu:
1. Berisi pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penapsiran dan modipikasi terhadap filsafat Paripatetis ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa arab, yaitu: Talwihat, Muqowamat, Mutharahat, dan Hikmat Al-Isyraq. Hikmat Al-Isyraq merupakan karya terahir yang secara seimbang menggunakan metode bahsiyah dan zauqiyah. Pembahasan buku ini bertitik tekan pada cahaya Tuhan, setelah sebelumnya di lakukan kritik terhadap Filsafat Paripatetik.
2. Karangan pendek tentang Filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil Al-Nur, Al-Alwah al- Imadiyah, Partaw-namah, fi Itiqadi al-Hukama, al-lamahat, yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub.
3. Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya dibahas dalam bahasa Persia, meliputi Aqli-Surkh, Awaj-i Par-i |Jibrail, al- Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al- Thifuliyah, Ruji Bajamaat-i Shufiyan, Risalah fi al-Miraj, dan Syafir-i Simurgh.
4. Komentar dan terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-thair karya ibnu Sina diterjemahkan kedalam bahasa persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-Isyqi, yang terpusat pada Risalah ibn Sina Fi al-Isyqi; serta sejumlah tafsir Al-Quran dan Hadis Nabi.
5. Doa-doa yang lebih dikenal dengan Al-Waridat wa Al-Taqdisat (Doa dan pensucian).
B. Filsafat Illuminasi Suhrawardi
Hikmah Al-Suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiyah, yang bernama illuminasi (Kasyf). Menurut suhrawardi, hikmah ini dikenal juga sebagai hikmah masyriqiyah (kebijaksanaan timur), sebagaimana yang disebut- sebut ibn Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan timur, yaitu orang-orang Persia. Adapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada illuminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecemerlangannya, dan kelimpahannya pada jiwa sewaktu jiwa menjadi bebas.
Dalam Filsafat Illuminasi Suhrawardi menyabutkan sumber dan hasil Illuminasi sama-sama menggunakan istilah Nur (cahaya). Istilah susunan dan cahaya-cahaya disamakan juga dengan susunan kemalaikatan. Istilah cahaya dan gelap berati juga ruh dan materi.cahaya-cahaya (anwar) adalah nama lain dari akal-akal, Al-Anwar al-Qahirah untuk menyebut akal-akal Planet, al-Anwar al-Mujarradat untuk jiwa-jiwa manusia, dan Nur al-Nur untuk menyebut Allah, al-Jauhar al-Ghasiq sebagai tubuh (Jism), dan alam barjah-barjah sebagai alam tubuh-tubuh.
1. Metafisika dan Cahaya
Inti Filsafat Illuminasi adalah sifat dan penyebaran cahaya, dan cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tidak dapat didefinisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak memerlukan definisi, maka jelaslah cahaya, seperti entitas yang paling terang di dunia ini tidak membutuhkan definisi juga sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus menembus kedalam susunan setiap entitas, baik fisik maupun nonfisik, sebagai sebuah komponen yang esensial darinya. Segala ssuatu selain cahaya murni adalah tersusun dari sesuatu yang tidak membutuhkan subtratum yang merupakan substansi gelap, atau dari bentuk substansi ini, yaitu adanya kegelapan parse, dan sejauh benda-benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, ia dapat disebut ismus-ismus (bentuk tunggalnya:barjah). Yang dipandang dari dirinya sendiri bahwa setiap ismus itu adalah gelap dan cahaya apa pun yang dimilikinya harus berasal dari sumber luar. 2. Hubungan antara cahaya dan gelap bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan antara eksistensi dan noneksistensi.menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaanya sebagai kenyataan, yaitu kegelapan,yang harus diteranginya supaya ia menjadi dirinya sendiri. Cahaya primordial ini merupakan sumber semua gerak. Tapi geraknya bukan perubahan tempat, hal itu disebabakan cinta akan penerangan yang membentuk esensinya, dan mendorongnya seakan-akan, mempercepat hidupnya segala sesuatu dengan menumpahkan sinarnya sendiri kedalam kemaujudan mereka. Jumlah penerangan yang mengalir darinya tidak terbatas. Penerangan yang semakin terang, pada gilirannya, menjadi sumber penerang lain; dan skala kecerahan berangsur turun kepenerangan yang terlalu lemah untuk melahirkan lain, semua penerangan ini adalah media atau, dalam bahasa Teologi,Malaikat, yang melaluinya segala keanekaragaman tak terbatas maujud menerima kehidupan dan makanan dari cahaya pertama.
Penerangan cahaya Orisinil dapat dibedakan kepada dua, yaitu:
1. Cahaya Abstrak (misalnya Intelek, Universal maupun Individual). Ia tidak berbentuk, dan tidak pernah menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (substaqnsi). Darinya datang berbagai bentuk cahaya setengah sadar, atau sadar akan dirinya, yang berbeda satu sama lain dalam jumlah kilaunya, yang ditentukan oleh perbandingan kedekatan atau jarak mereka dari sumber utama keberadaan mereka. Intelek atau jiwa individual hanyalah suatu salinan yang lebih redup, atau suatu refleksi lebih jauh cahaya pertama. Cahaya abstrak mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri, dan tidak memerlukan suatu non ego untuk mengungkapkan eksistensinya kepada dirinyua sendiri. Kesadaran atau tahu diri, karenanya, adalah esensi cahaya Abstrak, sebagai terkenali dari peniadaan cahaya.
2. Cahaya Aksiden (Atribut), yaitu cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (misalnya sinar bintang, atau keterlihatan benda-benda angkasa lain), cahaya aksiden, atau yang lebih tepatnya cahaya yang dapat diinderai, ialah suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan oleh jaraknya, telah kehilangan intensitasnya, atau kehilangan ciri substansi induknya. Proses refleksi berkesinambungan adalah benar-benar suatu proses yang melemah; penerangan yang berturut-turut berangsur-angsur kehilangan intensitasnya sampai dalam rangkaian refleksi, kita mencapai penerangan tertentu yang kurang kuat yang seluruhnya kehilangan watak mandirinya, dan tidak ada kecuali dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain. Penerangan-penerangan ini membentuk cahaya Aksiden, yaitu atribut yang tidak mempunyai eksistensi mandiri. Karena itu hubungan antara cahaya Aksiden dengan cahaya Abstrak ialah hubungan antara sebab dan akibat. Namun, akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan penyebabnya; akibat adalah suatu transformasi(perubahan bentuk), atau suatu bentuk lebih lemah dari yang diduga sebagai penyebab itu sendiri. Apapun selain Cahaya Abstrak (misalnya, hakikat benda yang terterangi itu sendiri) tidak bisa menjadi penyebab cahaya aksiden; karena yang disebut terahir ini, disebabkan semata-mata bergantung dan akibatnya bisa tertiadakan, bisa dijauhkan dari benda-benda tanpa mempengaruhi karakter benda-benda itu. Jika esensi, atau sifat benda yang tersinari, telah menjadi penyebab cahaya aksiden, suatu proses tidak berpenerangan tidak bisa menjadi mungkin.
Dari segi hubungan, cahaya dapat dibedakan kepada cahaya bagi dirinya dan cahaya yang menyinari hal-hal yang lain diluar dirinya. Selain itu, cahaya murni memiliki Chierarki Vertikal (thabaqat thul). Pada puncak sekala cahaya murni berdiri cahaya niscaya, kepadanya tergantung seluruh rentetan cahaya yang ada dibawahnya. Sebagai asal atau sumber segala cahaya yang lain, cahaya ini harus ada secara niscaya. Rentetan cahaya itu haruslah berjuang pada cahaya pertama atau niscaya, sebab tidak mungkin ada suatu gerak mundur yang tidak terbatas. Suhrawardi menyebutkan cahaya niscaya sebagai Cahaya Segala cahaya, cahaya yang mandiri, cahya suci, dan sebagainya. Cahaya segala cahaya bersifat Esa, cahaya niscaya ini menimbulkan melalui suatu proses Emanasi, cahaya pertama (Nur al-Awwal), yang jumlahnya satu dan tidak tersusun karena tidak mungkin bahwa sebuah Entitas yang tersusun dari cahaya dan kegelapan, akan memancar dari sebuah realitas yang sama sekali bebas dari kegelapan. Cahaya pertama ini berbeda dengan sumbernya dalam tingkat kesempurnaan.
Cahaya pertama memiliki watak ganda karena tergantung kepada cahaya segala cahaya. Karena kekurangan yang sangat dalam dalam dirinya sendiri dan limpahan karunia, melalui cahaya segala cahaya, ketika ia memahami kekurangan atau sifat gelapnya, ia melahirkan bayangan pertama, Suhrawardi menyebutnya “Ismus (barzah) tertinggi” (yaitu semacam, langit terjauh dalam kosmologi. Neo-Platonis). Ketika ia memahami kekurangannya dalam kaitan dalam sumbernya ia melahirkan cahaya kedua. Yang terakhir kemudian melahirkan sebuah cahaya dan juga sebuah Ismus (yaitu bola langit angkasa), dan proses itu terus berlangsung hingga kita sampai kepada Ismus atau bola kesembilan dan dunia unsur-unsur dibawahnya. Tentang rentetan cahaya yang memancar dari cahaya niscaya, suhrawardi mengatakan bahwa rentetan itu tidak berhenti sampai yang kesembilan (seperti yang dipertahankan kaum Neo-Platonis ; meskipun begitu, ia tidak yakin bahwa rangkaian ini terbatas bilangannya.
Suhrawardi merumuskan hubungan cahaya-cahaya yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, dalam istilah-istilah dominasi (qahr, yang dapat disamakan dengan neikos Empedoclean), adapun hubungan cahaya yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi (menarik) atau cinta (‘isyaq : philia). Dua kekuatan, dominasi dan cinta inilah yang mengatur dunia.
Suhrawardi mengatakan “Bahwasanya dunia yang tersusun dari unsur-unsur dan yang pada hakikatnya adalah panumbara cahaya segala cahaya yang dipancarkan melalui semua tatanan unsur baik yang bercahaya maupun yang tidak bercahaya menjadi abadi sebagaimana penciptanya. Dengan alasan yang pada dasarnya keabadian ini berbau Aristotelian berpautan erat dengan keabadian gerak setiap bagian gerak tergantung pada bagian sebelumnya. Sebagai ukuran gerak juga bersifat abadi, tanpa awal maupun akhir. Karena jika mempunyai suatu awal, maka haruslah didahului baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas atau yang lainnya dalam kedua hal ini, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu.
Maka alam semesta merupakan pancaran dalam (faidh) abadi dari prinsip petama disamping rentetan substansi imaterial atau cahaya yang jumlahnya tertentu seperti yang telah kita lihat, sebuah rentetan entitas-entitas material yang lebih tinggi (benda-benda langit) memancar secara langsung dari cahaya segala cahaya atau Tuhan. Dari benda-benda lngit ini memancar benda-benda “elemental” dunia bawah bulan. Benda-benda ini dikatakan elemental, karena mereka pada akhirnya berasal dari sebuah “materi umum”, yang disebut oleh kaum Iluminasionis sebagai ismus primordial. Bentuk-bentuk elemental yang sederhana, dan juga bentuk-bentuk inorganik yang tidak sederhana atau organik, mempengaruhi materi umum melalui rotasi ; udara diubah menjadi akhir, air menjadi tanah, tanah menjadi udara, udar menjadi api. Kemampuan untuk berubahini, menurut Al-Suhrawardi, membuktikan bahwa empat unsur utama kaum paripatetik tidaklah utama, karena mereka tunduk kepada perubahan (permutasian) yang tidak ada ujungnya ini dan, atas dasar itu, tidaklah mengandung sifat atau bentuk esensial apapun.
Gerak benda-benda terestrian dapat dirujukan baik kepada cahaya tertinggi, yang merupakan sumber segala wujud, maupun kepada cahaya yang lebih rendah dari hierarki bercahaya yang memancar darinya. Panas mempunyai peranan utama dalam proses alamiah ; yang menjadi sebab jatuhnya batu, menyerapnya air, menguapnya uap air ketiak hujan, terjadinya halilintar dan kilat, bukanlah alam, seperti yang dituntut kaum paripatetik melainkan panas. Baik panas maupun gerak, yang sangat dekat dengan panas , pada akhirnya bersumber pada sebuah cahaya tertentu. Satu-satunya entitas yang menyebabkan jauh dekatnya sesuatu adalah cahaya. Dan karena cinta dan dominasi berasal dari cahaya, dan gerakan serta panas dihasilkan olehnya, maka cahaya adalah dasar bagi nafsu, selera dan marah, dan keinginan terus-menerus untuk menimbulkan gerak. Dengan alasan ini, dan karena kemuliaannya, api bersama-sama dengan cahaya, patut menerima penyembahan atau pemujaan, seperti yang dipraktekkan oleh orang persia. percampuran kualitas-kualitas yang berlawanan pada benda-benda tertentu, maka entitas-entitas fisik dan terestrial muncul. Unsur yang paling dominan dalam entitas-entitas itu adalah cahaya, yang disebut sfendarmudh, yang azimat adalah tanah. Gabungan yang paling sempurna menghasilakn manusia, yang kesempurnaanya berasal dari cahaya segala cahaya melaui perantaraan ini. Roh suci menganugerahkan kepada embrio, segera setelah ia menerimanya, cahaya manusia atau jiwa, yang disebut isfahbad kemanusiaan. Ciptaan atau pancaran cahaya ini tidak mendahului pormasi tubuh, karena manifestasinya dalam diri perseorangan tergantung pada tubuh. Lagi pula, andaikan cahaya-cahaya itu abadi atau tidak dicipta maka baik cahaya-cahaya itu maupun prototipenya dalam dunia imaterial haruslah tidak terhingga tetapi yang demikian itu adalah mustahil.
Cahaya manusia dapat disamakan dengan buah kecakapan jasmani : kegairahan (passionate), yang prototipenya adalah daya dominasi, dan apetitip, yang prototipenya adalah cinta. Daya-daya jasmani yang lebih rendah, seperti memelihara dan berkembangbiak, timbul dari perhubungan tubuh yang bermacam-macam denagn cahaya dan dapat dipandang sebagai manifestasi-manifestasi ragawi yang begitu banyak dari cahaya terestrial perbedaan antara cahaya dengan tubuh terjadi oleh keadaan hubungan cahaya dengan tubuh itu.
Roh adalah alat cahaya terestrial dalam mengarahkan tubuh. Roh meresap kedalam tubuh dan menghubungkan, kepada berbagi organnya, cahaya yang dikaruniakan oleh cahaya terestrial. Meskipun begitu perbedaan-perbedaan dalam fungsi mereka tidaklah mengikut sertakan prbedaan organ atau kecakapan, sehingga sensus communis, kecakapan estimatif dan imajinatif, adalah berbeda dengan pernyataan ibn Sina, satu dan sama. Semua fungsi-fungsi ini dapat dikembalikan kepada cahaya terestrial, yang memahami objek-objek indra melalui pperantaraan organ-organ tubuh, yang dapat disebut “indra dari indra”. Tetapi mungkin saja baginya terlepas sama sekali dari organ-organ tubuh, seperti yang disokong oleh para mistikus, yang telah mempunyai visi cahaya yang lebih tinggi, yang lebih terang dari pada penglihatan fisik.
Penggabungan cahaya terestrial dengan materi ditimbulkan oleh keterlibatanya dengan “kekuatan-kekuatan gelap”. Akibatnya ia menjadi terasing dengan dunia cahaya dan terpaksa tinggal dalam tubuh manusia, yang merupakan tempat tinggalnya yang pertamadan tertinggi, menurut para bijaksanawan timur. Dalam renkarnasinya yang belakangan, dapat tinggal dalam bentuk-bentuk hewani yang lebih rendah, tetapi prosesitu tidak dapat dibalik. Suhrawardi sepenuhnya menyadari adanya ketidak serasian pandangan ini dengan pandangan Plato dan Pytagoras. Meskipun begitu ia menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan perpindahan jiwa, sekalipun ia menerima implikasi pandangan Platonik. Pythagorean tentang pelepasan jiwa dari “rantai kelahiran kembali” pada ahirnya. Oleh karena itu terlepasnya cahaya-cahaya yang mengatur, yang tingal dalam tubuh dan mengarahkannya, terjadi ketika tubuh itu bercerai. Perpidahan bukanlah persyaratan niscaya dari pelepasan ini. Karena sampai tarap-tarap tertentu ketika cahaya kaptif ini merindukan dunia cahaya yang lebih tinggi dan tidak direndahkan olehunsur-unsur tubuh, ia akan mampu mencapai kontak (ittishal) dengannya dan pada ahirnya bebas dari belenggu tubuh sama sekali dan bergabung dengan barisan-barisan jiwa-jiwa suci didunia cahaya murni. Meskipun sementara itu terjerat dalam dunia yang lebih rendah ini, jiwa yang telah disucikan dapat menangkap lintasan dunia yang lebih tinggi dan kemegahannya dan juga berbagai daya-daya adikodrati tertentu, seperti meramal dan menguasai peristiwa-peristiwa dimasa depan.
Maka yang demikian itu merupakan pokok filsafat cahaya yang telah dicanangkan ibn Sina dan dikembangkan oleh suhrawardi. Lepas dari unsur mistik dan eksperienalyang merasuki filsafat ini, dasar (grounwork) kosmologi dan metafisikanya tidaklah betul-betul asing. Ia pada hakikatnya merupakan dasar Aviccenian, Neo-Platonik kemana unsur-unsur mistik dan keagamaan tertentu, dari sumber-sumber Zorostrian dan timur lainnya, ditambahkan. Apa yang membedakanya dari Neo-Platinisme tradisional Islam adalah terutama upayanya untuk memanpaatkan sepenuhnya tamsil cahaya, yang seperti telah kita lihat, untuk pertamakalinya dibayangkan ibn Sina dan sepenuhnya dimasukan oleh Zoroastrinisme kedalam pandangan dunia keagamaan dan metafisikanya.
Meskipun ada perbedaan ungkapan atau tekanan-tekanan tersebut, namun pandangan metafisik Suhrawardi pada dasarnya bersifat Aviccenian atau Neo-Platonik. Hal ini dengan baik sekali terlukis dalam sebuah risalah pendek yang berjudul “ Kepercayaan Para Filusuf”, dimana ia berusaha mempertahankan kaum teosifis terhadap kecaman-kecaman dan fitnahan masyarakat luas, yang menuduh mereka tidak berTuhan atau tidak beragama.Suhrawari mengajukan alasan bahwa kaum teosofi percaya kepada keesaan Tuhan, penciptaan dunia dan keputusanNya yang tidak dapat ditawar. Entitas pertama yang diciptakan Tuhan adalah intelek pertama, yang kemudian melalui proses emanasi, menimbulkan intelek lain, dari mana jiwa dan tubuh langit pertama memancar. Proses tersebut terus bergerak kebawah hingga kita sampai kepada intelek terahir dan dunia pembentukan dan penghancuran yang ia kendalikan. Intelek yang palin rendah ini disebut mereka “pemberi bentuk-bentuk” atau Roh Suci.