KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis
bahwa tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah atau
berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan
bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat
35, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
· Melalui tindakan (iman dan amal
sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebutkan bahwa bertawasul dengan iman,
ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal
mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat
oleh Nabi Muhammad saw.
·
Melalui doa. Antara lain dengan
menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tujuannya berwasilah dalam berdoa agar
doa yang disampaikan itu diterima oleh Allah swt. Jumhur ulama menyepakati cara
tersebut sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang
yangt terkurung di dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil
bertawasul dengan amal yang pernah diperbuatnya,
·
Melalui dzat, sifat-sifat dan
nama-nama Allah swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‘raf: 180)
·
Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di
akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin
akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa
besar.
·
Melalui panggilan. Tawasul dalam
bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut
Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh.
Berdasarkan beberapa riwayat, antara lain: ―Mujahid meriwayatkan bahwa dia
melihat seseorang sakit kakinya didekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata:
―Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai‖. Orang sakit tersebut lantas
menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh.
Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan
orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal yang dijadikan wasilah biasanya adalah para Nabi, wali,dan
orang-orang yang dipercaya kesalehannya. Kaum NU sering melakukan tawasul
dengan berziarah ke makam-makam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal
adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 64:
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا
اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Artinya:
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. .(QS.An-Nisa‘ :64).
Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang),
bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian ketika
beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat
dan berpindahnya ke alam barzah.
Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:
"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw.
bersabda: "Seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali
Allah menugaskan 70.000 malaikat ag ar memohonkan ampun untuk orang tersebut,
dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan
bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah: Para ulama;
berkata, "Ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang
hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan
memerintahkan membaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a
dengan do'a ini ketika hendak pergi sholat."Abu Nu'aimah dalam kitab
al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad
ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring
diatas kuburannya dan bersabda: “Allah
adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalahMaha Hidup, tidak mati.
Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur
dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau
Maha Penyayang.”Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi: “Dengan
hak para nabi sebelumku”.
Dalam hadis lain juga disebutkan:
Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai
Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pastimengampuni
kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal
belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika
menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku
melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku
mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk
yang paling Engkau cintai.” Kemudian Allah berfirman: “benar engkau hai
Adam.Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon
kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak
karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan
al-Baihaqi).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi Adam a.s
adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan yang
sering diajukan adalah, Jika tawasul
dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din
al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW. Diketahui Sahabat
Umar bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib
ketika berdoa memohon hujan.
Dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau
sahabat Umar Ibn Khaththab bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian
berdoa, “Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw,
maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami,
maka turunkanlah hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.”(HR.
Bukhari)
Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama‘ telah menjelaskan:
―Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan
tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob
dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang
bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al
-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan
ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga pernah dilakukan
pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan bahwa para sahabat
selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan
Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra
tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra
datang ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah
hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur
didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan
salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni
hujan. Bilal lalu datang kepada kholifahUmar dan menyampaikan berita tersebut.
Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Karena itu, demikian KH. A
Nuril Huda, berdo‘a dengan
memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan,
artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang
dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah
tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: ―Tidak ada yang bisa
mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa
memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.‖ KH A Nuril Huda, dalam tulisannya
menguatkan pendapatnya tentang bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah
mati. Sebab ketika seseorang mati
maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya saja,
sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di alam
barzakh yang mana mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri
mereka sendiri.
Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang artinya:
―Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya,
kecuali tiga;
kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa‟at atau anak shaleh yang mendo‟akan.‖ (HR Muslim)
ilustrasi maqam orang shaleh |
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III,
dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa‘i juz VI. Hadits di atas
menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul, sebab
apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo‘akan orang yang di
dunia tidak ada keterangan yang melarang. Ketika melintasi kubur kita
disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur, sebagaimana pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga akan menjawab salam
yang kita ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo‘akan orang tua, kemudian
orang tua di alam barzah mendo‘akan kepada yang berdo‘a agar selamat, hal ini
tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo‘a maupun ahli kubur
seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo‘a di
dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak
dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.Perlu diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi
yang disebut mahallul qiyam, yakni,
saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat
“ya nabi sallam alaika ya rasul salam alaika”
(Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu )
Berkaitan dengan tawasul KH Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan
bahwa dalam kalimat‖Wahai
Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu‖;
yang diucapkan,
seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashulkepada Nabi, atau memanjatkan doa
dengan perantaraan Rasulullah saw.Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam
setiap shalat, kita juga selalu
Mengucapkan
“assalamualaika
ayyuhannanabiyu”
(Salam kepada Engkau wahai Nabi)
KH Musthofa Agil Siradj
menjelaskan bahwa redaksi dari doa tersebut diharuskan memakai kata
ganti (ka )atau kata ganti orang kedua
atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu
atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan
dlamir ghaib (hu) atau dia,
atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya
bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di
hadapan kita. Maka pada setiap doa, setelah kita berucap ‖Alhamdulillah‖ segala puji bagi Allah, kita
teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kitasampai pada
inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada
makhluk Allah bernama Muhammad SAW, demikian pendapat KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun praktek pelaksanaan tawassul dengan dzat-dzat yang mulia,
seperti
Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam,
yaitu:
1. Memohon (berdoa) kepada Allah
SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
“Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan
hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW
untuk…”
2. Meminta kepada orang yang dijadikan
wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya
seperti: “Ya Rasulullah, mohonkanlah
kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3.
Meminta sesuatu yang dibutuhkan
kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah
memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dan
karena doanya pula.
Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua. Tiga macam cara
tawasul ini semua memiliki dasar hukum yang jelas.
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits
Nabi SAW antara lain:
“Dari autsman bin Hunaif ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna
netra datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasululah, berdo‟alah kepada Allah agar menyembuhkan
saya.” Beliau bersabda: “jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau
bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.” Laki-laki itu
berkata: “berdo‟alah
untuk saya, karena mataku benar-benar memberatkan merepotkan)ku.” Kemudian
Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua raka‟at, lalu berdoa seperti doa dalam
hadits yang art i doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad,
sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini,
agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian
pulang dalam keadaan dapat melihat.”
berdoa hanya kepada Allah |
Hadist tersebut, bagi kalanggan yang membolehkan tawasul, dianggap
jelas bahwa di sana Nabi SAW tidak
berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan
kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau
dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada
dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi
Muhammad SAW. Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut
tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya
seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi
dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam
ilmu ushul.
Dengarkan dalil tawasul dengan cara kedua antara lain hadist dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum‟at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dari
pintu masjid dan langsung menghadap kepada Nabi SAW seraya berteriak: “Hai Rasulullah,
harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah
supaya menghujani kami. Rasulullah SAW lalu mengangkat tangan dan berdo‟a” Ya Allah
turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata: “Demi Allah kami melihat
awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah
rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. “Kemudian Beliau berdoa: “ Allah,
turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan
kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits tersebut ada
petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada
Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang
yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat
hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih
berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak
ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang
yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah dengan kedudukan dan kemuliaan para
kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang
dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa. kecuali ta‘at kepada-Nya.
Sedangkan dalil dari cara tawasul yang ketiga antara lain hadis
dari
Rabi‟ah
bin
Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja
yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada- Mu dapat bersamamu di surga.” Beliau
bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” kemudian beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi
keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
Jadi, menurut kalangan NU, tawasul dengan orang mati tidak jadi
masalah, malah justru dianjurkan, lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw.
NU berpendapat bahwa tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena
pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti
para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul
dengan dzat mereka, yang shaleh tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka.
Karena memang, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma‘siat,
pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan
pohon, batu, gunung dan lain-lain.
Dikutip dari : FIQH AL-IKHTILAF
NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho