Semula judul yang diminta oleh
Panitia adalah Islam Kejawen sebagai Solusi Tantangan Zaman. Untuk menghindari
salah pengertian bahwa ada “agama Islam Kejawen” di luar agama Islam maka judul
makalah diubah sebagai tersebut di atas. Sebelum masuk ke isi pokok makalah
ini, perlu diperhatikan benar makna Kejawèn dan Islam yang
menjadi landasan penulisan makalah ini.
Kejawèn [penulisan
selanjutnya Kejawen] merupakan kata jadian yang dibentuk dari unsur kata ke+Jawi+an
dan diucapkan ke-ja-wèn. Kata kejawèn sebagai istilah tidak
ditemukan dalam kamus Basa Jawa. Bila kosa kata ini ditemukan dalam kamus,
artinya justru daerah istimewa di Jawa atau daerah raja-raja Jawa,
dan biasanya entri kata ini disamakan dengan kejawan. Dalam kamus Jawa
Kuna, entri kejawan memiliki arti menjadi orang Jawa atau kejawa-jawaan
(menyerupai perilaku orang Jawa).
Entri
kata jawi tidak ditemukan di dalam kamus (bausastra) Jawa Kuna, tetapi
ada di dalam kamus Jawa Baru yang merupakan kata halus atau krama dari kata Jawa,
yang artinya orang atau bahasa Jawa. Meskipun tidak ada istilah kejawèn
dalam berbagai kamus Jawa, namun sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen
atau yang sering disebut Islam Kejawen adalah agama Islam yang bersumber
dari Alquran, Hadis, Ijma Ulama, dan Qias.
Berdasarkan
hasil studi karya seni sastra Jawa abad XVIII yang dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti Zoetmulder (Manunggaling Kawula Gusti, 1995), Simuh (Mistik
Islam Kejawen, 1988), dan Niels Mulder (1985), Kejawen merupakan perkawinan
tradisi Islam dengan Hindu – Buddha Jawa. Ajaran Kejawen sendiri
tidaklah statis, tetapi terus-menerus melakukan penyerapan dan penyaringan
terhadap ajaran Islam yang masuk ke dalam keraton-keraton di Jawa dan Sunda
sejak abad XVI.
Islam, bila ditelusuri dari
sumbernya yang paling sah -yaitu Alquran- merupakan dîn yang bermakna
kedamaian (Inggris, mindfulness). Islam adalah dîn dan bukan
religi. Dîn adalah jalan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan
religi adalah seperangkat tata-cara ritual. Dengan demikian, hanya ada satu dîn
di seluruh dunia, yang dalam bahasa Arabnya disebut Islam Dîn Islam ini dalam kenyataannya telah
terpecah-pecah menjadi religi-religi Islam, Yahudi, Kristen/Katholik, Hindu,
Buddha, Kong Huchu, Sikh, Bahai dan lain sebagainya. Selanjutnya, religi Islam
yang akhirnya dikenal sebagai agama Islam, terpecah-belah menjadi puluhan
golongan di antaranya yang besar adalah Sunni, Syi’ah, dan Wahabiyah. Sedangkan
Sunni terbagi lagi menjadi beberapa madzhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Sebenarnya, kata agama tidak
tepat bilamana ditempatkan di depan kata Hindu, Yahudi, Buddha,
Kristen/Katholik, Islam, Sikh, Bahai dan lain sebagainya. Kata agama
dalam bahasa Jawa Kuna merupakan bentukan dari a + gama yang
artinya menjalankan aturan yang ditetapkan negara. Jadi, orang yang beragama
adalah orang yang mematuhi aturan, undang-undang, dan hukum negara. Oleh karena
itu, di Kep. Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Buddha tidak dikenal
istilah agama.
Jika kata agama tidak dapat
ditempatkan di depan kata Hindu dan Buddha, maka disebut apakah Hindu dan
Buddha dalam pemahaman orang Jawa? Hindu dan Buddha dalam khazanah budaya Jawa
disebut dharma, yang artinya kewajiban, tugas hidup, kebenaran, atau
kepercayaan. Namun, dalam kamus Jawa Kuna entri kata Hindu tidak ada, karena dharma
yang masuk ke Kep. Nusantara pada zaman dahulu adalah dharma Syiwa, dharma
Wisnu, dan dharma Buddha. Bahkan dharma-dharma yang masuk Jawa itupun mengalami
penyesuaian diri setelah berinteraksi dengan dharma asli yang ada di Pulau
Jawa. Oleh karena itu, kata dharma digunakan dalam semboyan “bhinneka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, berlainan itu satu tak ada
kebenaran mendua. Ini berarti pada masa Kerajaan Majapahit orang menjalankan
dharma apa pun -Wisnu, Syiwa, Buddha, Syiwa-Buddha- memiliki kedudukan yang
sama, dan mendapatkan perlakuan yang sama dari negara.
Keadaan berubah ketika berdiri
Kerajaan Demak Bintoro yang menggunakan dharma Islam menjadi
undang-undang di kerajaan tersebut. Islam tidak lagi disamakan dengan
dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan Islam diangkat sebagai
undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan tersebut. Pluralisme
yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan dharmanya itu sirna. Sebab,
semua warga negara harus mematuhi undang-undang negara, sedangkan yang
dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.
Setiap warga negara Kesultanan
Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja, agama ageming aji,
agama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja. Oleh karena itu, terjadilah
penaklukan -termasuk konversi dharma yang dipeluk warganya- oleh Kesultanan
Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem
penaklukan dharma ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah
Kep. Nusantara. Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari
Timur Tengah di kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya.
Akibatnya, terjadilah penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk
terhadap aliran yang sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan
pengikut Hamzah Fansuri di Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan
pengikut Syamsyuddin Sumatrani dan pelaku dharma tradisional oleh kaum Wahabi
di Sumatra Barat, dan lain-lainnya.
Dan,
mengingat kata agama bukanlah kata benda, dan juga tidak untuk mengganti kata
dharma, maka sebaiknya kata “agama” tidak dipakai sebagai kolom dalam KTP. Jadi,
yang benar, setiap warga negara Indonesia yang mematuhi hukum dan undang-undang
yang berlaku di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), adalah orang-orang
yang beragama. Peniadaan kolom agama pada KTP adalah upaya untuk mencegah
terjadinya friksi dan konflik antar pemeluk dharma yang diyakininya. Setiap
orang berhak menjalankan dharma yang diyakininya dengan rasa aman. Dengan cara
demikian, setiap orang ikut andil dalam penegakan persatuan di NKRI, yang
sekaligus penghayat dan pengamal Pancasila. Dan, Pemerintah NKRI akan menjadi
pelaksana dan penjamin bagi setiap warga negara untuk menjalankan “agama”
(dharma) dan keyakinan yang dianutnya. Inilah yang menjadi prinsip ajaran dan
orang Kejawen. Ini pula yang menjadi Sistem Islam bahwa tiada paksaan dalam
beragama (Quran 2:256).
Jadi,
orang-orang Kejawen adalah orang-orang yang menjalankan dharma hidupnya sesuai
dengan dharma yang diyakininya, dan sudah pasti beragama, namun tidaklah
terikat oleh dogma-dogma sebuah kepercayaan dan tidak terjebak oleh “agama”
sebagai identitas. Oleh karena itu, bagi yang tidak
mengerti, Kejawen dianggap sebagai sinkretisme berbagai kepercayaan yang telah
ada di Jawa. Padahal, Kejawen adalah dinamika orang Jawa dalam menerima,
menyerap dan menghayati nilai-nilai dîn dan religi serta dharma yang
masuk ke Pulau Jawa.
Islam Masuk Pulau Jawa
Tanah asal agama Islam adalah Arab,
khususnya dari Madinah dan Mekah. Agama Islam menyebar keluar dari Jazirah Arab
pada umumnya melalui jalur darat. Oleh karena itu, kedatangan Islam di
Kepulauan Nusantara baru tiga per empat milenium kemudian setelah agama ini lahir
di Jazirah Arab. Agama Islam masuk Kepulauan Nusantara melalui perdagangan, dan
bukan melalui misi pengembangan agama.
Agama Islam dibawa oleh para
pedagang yang berasal dari Arab, Persia (Iran sekarang), dan Gujarat (di pantai
barat India). Perdagangan itupun tidak dibawa langsung dari Arab atau Persia ke
P. Jawa, melainkan secara beranting dari satu tempat ke tempat lainnya hingga
akhirnya sampai di Malaka Dari Semenanjung Malaka inilah akhirnya agama Islam
sampai di Jawa, khususnya di sepanjang pesisir utara Jawa, dari Banten (di
bagian barat P. Jawa) hingga Gresik (di bagian timur P. Jawa). Oleh karena itu,
agama Islam yang masuk ke Kep. Nusantara ini merupakan produk sejarah
masyarakat di negara-negara yang dilaluinya selama 750 tahun -termasuk pergulatan
antar pemeluk ajaran Islam di tanah kelahirannya.
Pedagang-pedagang yang berasal dari
Arab, Persia dan Gujarat itu pada umumnya memeluk agama Islam yang beraliran
Syi’ah, karena sejak permulaan abad XII aliran ini berkembang di Persia dan
Hindustan. Selain itu, aliran ini mendapat dukungan dari pemerintahan Bani
Fathimiyah di Mesir yang berpegang pada aliran Syi’ah. Pada pertengah abad XIII
(1268) dinasti Fathimiyah jatuh, sehingga dukungan terhadap aliran Syi’ah tidak
ada lagi. Namun, Persia dan Hindustan ternyata merupakan tempat yang subur bagi
tumbuh dan berkembangnya aliran ini.
Meskipun agama Islam telah
memperoleh tempat baru yang subur di Semenanjung Malaka dan Sumatra pada abad
XIII, tapi agama ini baru bersemi di pesisir utara Jawa pada abad XV. Meskipun
demikian, berdasarkan laporan Ma Huan dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan
Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405 – 1406, agama Islam belum tampak
dipeluk oleh penduduk asli di P. Jawa, dan yang mereka laporkan adalah agama
dan adat-istiadat Jawa.
Tuban dan Surabaya sebagai kota
pelabuhan strategis, pada abad XV menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni
oleh keturunan Tionghoa. Agar hubungan dagang antara Tiongkok daratan dengan
Jawa lancar, maka diangkatlah kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423
dan di Surabaya pada 1447. Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal
di Tuban, dan mereka juga banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup
berdampingan dengan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat
setempat. Dan, menurut Ma Huan, kebanyakan penduduk Cina yang tinggal di
kota-kota ini memeluk dan menaati aturan agama Islam.
Jadi,
bila di awal abad XV masyarakat asli masih memeluk dan mempraktikkan
adat-istiadat Jawa, namun pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran
pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di
kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina
dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad XV Pemerintah Tiongkok memihak pada
Pemerintah Kerajaan Majapahit meski keadaan di Majapahit mulai goyah karena
perebutan kekuasaan dari dalam. Juga dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina
pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh
masyarakat setempat.
Aliansi
masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang
kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah
Raden Patah (bentuk keliru dari Fatah yang berarti Wijaya). Raden
Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang
ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai
para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam.
Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang
disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para
wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah
adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri-sendiri.
Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama
ageming aji. Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk
memeluk atau menjalankan dharma ajaran Islam.
Ragam Aliran dan Mazhab Islam yang Masuk
Jawa
Berbagai catatan sejarah menunjukkan
bahwa aliran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan
Gujarat adalah aliran Syi’ah. Dan, tampaknya aliran ini cukup lama bertahan di
Nusantara, dan di Jawa khususnya, sehingga peninggalan aliran ini masih
dilestarikan hingga sekarang di berbagai daerah di luar maupun di Jawa.
Pembuatan bubur Suro pada tanggal 10 Suro (Muharram) di berbagai daerah
merupakan wujud nyata warisan aliran Syi’ah. Berbagai upacara adat untuk
memperingati Imam Husain di bebagai daerah di Jawa juga merupakan peninggalan
Syi’ah.
Aliran
Syi’ah juga terdiri dari banyak subsekte atau mazhab-mazhab, dari yang sangat
berorientasi pada syariat hingga yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Dan,
kelihatannya golongan Syi’ah yang dapat dengan mudah bertemu dengan pandangan
dan dharma yang dijalankan oleh orang Jawa adalah Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah
atau Manunggaling Kawula klawan Gusti. Ajaran inti dari
Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan
sinar Ilahi. Ajaran inilah yang “klop” dengan dharma yang dilakukan oleh orang
Jawa yang memandang manusia sebagai “titah” (sabda) Sang Hyang Taya atau Tuhan
yang tidak dapat digambarkan seperti apa pun seperti yang dinyatakan dalam Q.
41:11.
Raden
Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab
Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi- namun sebagian
besar masyarakat Jawa waktu itu menjalankan ajaran Islam Syiah.Oleh karena
Syekh Siti Jenar sebagai guru agama yang termasyhur diduga oleh penguasa Demak
sebagai pengikut Aliran Syi’ah, maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang
penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan
cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (dharma Islam ala Jawa),
sehingga dukungan terhadap Raden Patah semakin menguat.
Alasan
lain untuk mengeliminasi Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama
bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging
(penguasa daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam kelanjutan
tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya.Ajaran Syekh Siti Jenar ini
mempunyai pengaruh besar di masyarakat Islam di Jawa -khususnya Jawa Tengah. Hal
inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih
muda umurnya itu. Jadi, sebenarnya bukan ajaran Syekh Siti Jenar itu yang
ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran
yang dipegang oleh para wali itupun ajaran MKG (Manunggaling Kawula-Gusti).
Contohnya, sampai hari ini makrifat MKG yang berasal dari Sunan Kudus tetap
berkembang di Indonesia.
Di
era pasca kemerdekaan ajaran MKG dari Sunan Kudus ini disebarluaskan oleh Ki
Ageng Nitiprana (wafat 23 Desember 1991).Dewasa ini ajaran MKG dari Sunan Kudus
tersebut disebarkan dalam tiga sistem, yaitu sistem MKG yang dibungkus syariat,
sistem MKG yang menekankan ajaran hakikat, dan sistem MKG yang diajarkan
melalui lintas agama. Ketiganya berkembang di Jakarta dan dari
ibu kota NKRI ini menyebar ke seantero Nusantara. Berbeda dengan MKG yang
berasal dari Sunan Kudus, ajaran MKG dari Syekh Siti Jenar diajarkan melalui
kelompok-kelompok kecil yang sifatnya tertutup atau agak tertutup. Bahkan
kelompok-kelompok itu tidak menggunakan wadah yang secara terbuka dilabeli ajaran
MKG Syekh Siti Jenar. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka menghindari
sensitivitas masyarakat sekitarnya.
Kesultanan
Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi
perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan mazhab
Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam mazhab Syafii yang memang sudah
berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam
menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran
Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran
Syi’ah.
Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar
yang egaliter dan berpegang pada pluralisme dalam dharma itu dibasmi
habis-habisan, namun pergulatan ajaran yang disebut Islam Jawa ini tetap eksis
di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga yang di satu sisi sebagai penasihat
Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun di sisi lain dia adalah guru bagi
Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya dapat mendirikan Kesultanan
Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Amartani.
Keahlian
politik Ki Juru Amartani yang akhirnya dapat mengembalikan kelanjutan tahta
Majapahit (yang di kemudian hari menjadi Mataram Islam) dengan masa
transisi Kesultanan Pajang di bawah Sultan Adiwijaya. Dengan
kata lain, runtuhnya Kesultanan Demak merupakan bangkitnya kembali dharma Islam
yang di kemudian hari dikenal sebagai Islam Kejawen atau Kejawen. Namun,
jalannya sejarah ternyata tidak mulus dan bahkan menghadapi jalan-jalan terjal.
Mataram yang baru tumbuh itu dihadapkan pada banyaknya kadipaten yang masih
setia pada Kesultanan Demak, sehingga Mataram muda disibukkan dengan penaklukan
Demak, Madiun, Kediri, Pasuruan dan Gresik.
Pada 1613 Raden Mas Rangsang
ditabalkan sebagai sultan di Mataram dengan gelar Sultan Agung Senapati ing
Alaga Saidin Panatagama, yang juga dijuluki sebagai Prabu Pandita
Anyakrakusuma. Beberapa tahun sebelum dia diangkat sebagai sultan, tepatnya
pada 1611, Gubernur Jendral Both (Belanda) memperoleh sebidang tanah dari
Pangeran Jayakarta. Pada 1619 Jan Pieters Zoon Coen berhasil membangun benteng
di Jayakarta dan daerah tersebut diubah namanya menjadi Batavia. Setelah Sultan
Agung dapat menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah kekuasaan Mataram
pada 1628, maka Belanda yang bercokol di Batavia dianggapnya sebagai ancaman
kedaulatan Mataram. Upaya Sultan Agung menaklukkan Batavia pada 1628 dan 1629
gagal.
Setelah gagal menaklukkan Batavia,
Sultan mencoba melakukan konsolidasi ke dalam dan mencoba mempertemukan
berbagai aliran dan mazhab Islam di Jawa. Salah satu upaya tersebut ialah
diubahnya kalender Jawa Saka yang berdasarkan peredaran Matahari menjadi
kalender Jawa Islam yang berdasarkan peredaran rembulan. Perubahan perhitungan
tahun ini dilakukan pada 8 Juli 1633 dan bertepatan dengan 1 Suro 1555 tahun
Alif. Selanjutnya, perhitungan didasarkan pada 1555 JI tersebut.Sultan Agung
banyak melakukan akulturasi dan asimilasi budaya spiruitual.
Ketika Mataram di bawah kekuasaan
Sultan Agung, Belanda (VOC) tidak berani turut campur terhadap Mataram. Namun,
VOC telah melakukan penaklukan dan pendekatan terhadap raja-raja yang belum
tunduk pada kekuasaan Mataram. Ketika Sultan Agung wafat pada 1646, dan
digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat I, VOC melakukan perjanjian damai
dengan Mataram. Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada tahun 1646 itu, VOC
berjanji akan membantu Mataram bila Mataram berperang dengan pihak yang menjadi
musuh Kompeni.
Akhirnya, sejak permulaan abad
XVIII Mataram benar-benar jatuh ke tangan Kompeni dan praktis semenjak Sunan
Amangkurat II raja-raja Mataram berada di bawah kekuasaan Kompeni. Di lain
pihak Batavia terus berkembang pesat, dan masyarakat Arab dan Cina di Batavia
mendapatkan perlindungan yang kuat. Dengan demikian, orang-orang Islam yang
hendak menunaikan ibadah haji benar-benar berada di bawah pengawasan Belanda.
Sejak abad XVIII Aliran Islam mazhab Syafii yang dibawa oleh jemaah haji dari
Jawa semakin menyebar di seantero P. Jawa. Sebagaimana dungkapkan di atas,
ajaran Islam mazhab Syafii mudah bertemu dengan pola pikir Jawa.
Raden
Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga Keraton Surakarta abad XVIII, melukiskan
ketegangan dalam kehidupan keagamaan orang-orang Jawa setelah adanya kontak
dengan orang-orang Islam pembela syariat. Salah satu contoh karya
tulis R. Ng. Yasadipuro I yang menggambarkan konflik dalam kehidupan beragama
itu adalah Serat Cabolek. Dalam serat ini dilukiskan adanya konflik
antara ulama pembela syariat Islam dengan mereka yang menolak ajaran syariat
Islam sembari tetap memegang ajaran mistik Jawa. Tokoh sentral dalam serat ini
adalah Ketib Anom dari Kudus yang membela syariat dan Haji Ahmad Mutamakin yang
tinggal di Cabolek, Tuban, yang mengajarkan ilmu hakikat. Pada waktu itu ulama
di Keraton Kartasura pro syariat, yang sebenarnya Haji Mutamakin bisa mengalami
nasib yang sama yang dialami Syekh Siti Jenar maupun Sunan Panggung; namun
Sunan Pakubuwana II memaafkannya.
Sumbangsih Kejawen sebagai Solusi
Tantangan Zaman
Setelah memperhatikan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa Kejawen telah mengalami perjalanan panjang di
Kep. Nusantara dan khususnya di P. Jawa. Menurut Robert von Heine Geldern
(sarjana Australia) dan Brandes (sarjana Belanda), kebudayaan spiritual asli
Nusantara sebelum bertemu dengan kebudayaan India (Hindu dan Buddha) adalah
pertunjukan wayang kulit, gamelan, dan pemujaan kepada arwah para leluhur.
Arwah leluhur yang suka memberi
perlindungan disebut Hyang. Menurut Kitab Walisanga yang memuat ajaran rahasia
orang Jawa, orang-orang yang berbudi luhur kalau meninggal jiwanya akan menuju
lapisan langit. Di langit tersebut mereka menjadi Roh Kahyangan, yang
berdasarkan kecakapan mereka masing-masing, mereka diberi tugas untuk membantu
mengatur alam semesta. Mereka bisa menampakkan diri kepada orang-orang yang
berasal dari suku, bangsa dan ras yang sama; dan mereka juga menggunakan bahasa
yang sama dengan suku tersebut. Sebagai roh-roh Kahyangan mereka memberikan
perlindungan kepada bangsa tempat mereka ketika hidup di bumi ini. Mereka mampu
berbuat kebaikan sesuai dengan yang diinginkannya. Bila mereka tidak diindahkan
oleh bangsanya di dunia nyata ini, mereka akan melanjutkan perjalanannya ke
kelangitan yang lebih tinggi.
Dari sini kita dapat mengetahui
mengapa orang-orang yang memahami Kejawen dengan baik menjauhkan diri dari
konflik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan. Mereka justru menerima dengan
baik pendatang dari manca negara yang datang ke P. Jawa ini dengan membawa
dharma dan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila
pendatang dari India yang membawa kepercayaan Hindu dan Buddha hidup mulus di
Jawa sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. Orang Kejawen menerima
kepercayaan mereka sambil melakukan penyaringan, akulturasi dan asimilasi,
sehingga agama Hindu maupun Buddha itu tidak bertabrakan dengan dharma yang
dijalankan oleh orang-orang Jawa.
Setelah
mereka menetap dan berketurunan di Jawa, agama mereka menyatu dengan dharma
yang ada di Jawa, sehingga lahirlah Hindu Jawa, Buddha Jawa, dan lain-lain yang
bersifat kejawaan. Beberapa contoh hasil paduan budaya spiritual India dan Jawa
adalah Hari Raya Nyepi, cerita wayang kulit yang berbeda dengan pakem India,
dan berbagai bentuk upacara keagamaan pada pemeluk dharma Hindu dan Buddha di
Jawa yang tidak dijumpai di negeri asalnya seperti bersih dusun/desa. Upacara
bersih dusun/desa merupakan kearifan lokal agar orang-orang Jawa bisa hidup
harmonis dengan alam. Pemberian sesaji pada pohon-pohon besar yang tumbuh di
tepi sendang, situ, telaga, sungai, dan danau, merupakan upaya untuk
melestarikan alam.
Sebagaimana diuraikan di atas, pada
mulanya agama Islam yang masuk ke P. Jawa adalah yang beraliran Syi’ah yang
bernuansa tasawuf dan kebatinan. Para pendatang yang berasal dari Arab, Persia dan
Gujarat (India) disambut dengan baik. Ajaran tasawuf dan mistik Islam yang
berkembang di Asia Tengah (termasuk Persia) dan India dikawinkan dengan
mistisme Jawa. Ajaran MKG yang lebih bersifat individu di dunia Syi’ah oleh
Syekh Siti Jenar diolah menjadi MKG yang bernuansa publik. Raja dan rakyatnya
hidup bersatu yang dinamakan masyarakat. Kata yang berentri masyarakat
dibentuk dari unsur-unsur kata Arab mim + syaraka + ta’
marbutoh, yang artinya kumpulan orang-orang yang bersekutu. Namun, kosa
kata masyarakat tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab. Yang dapat
ditemukan dalam kamus Arab adalah musyaarik atau musyaarakah yang
berarti sekutu atau pertemanan. Dari sini dapat diketahui bahwa Kejawen
berkehendak menempatkan manusia dalam kedudukan yang setara. Oleh karena itu,
Raden Kebo Kenanga atau Ki Pengging setelah menerima ajaran dari Syekh Siti
Jenar langsung menjalani hidup seperti para petani yang hidup di wilayah
kekuasaannya. Ajaran Kejawen semacam ini di alam kemerdekaan dipraktikkan oleh
Ki Ageng Suryomentaram yang hidup dengan penuh kesederhanaannya.
Sejak abad XVII dan mencapai
puncaknya abad XIX di Mataram berkembang kesusastraan Jawa yang bernuansa
keislaman dan ditulis dengan huruf Jawa. Para inteletual Jawa yang masuk agama
Islam berkumpul dan menyatu di pusat kekuasaan kebudayaan spiritual Jawa. Pada
zaman Keraton Surakarta lahirlah serat-serat yang merupakan akulturasi antara
kebudayaan spiritual Islam dan kebudayaan spiritual Jawa. Serat-serat tersebut
sarat dengan ajaran moral, budi pekerti, mistisisme, dan ilmu kesempurnaan yang
menjadi acuan dan pegangan hidup orang-orang Jawa. Namun sayang sekali, pada
waktu itu para intelektual tidak dapat membawa ajaran Islam Kejawen ke luar
tembok keraton karena keraton berada di bawah kekuasaan Belanda. Akibatnya,
ajaran tersebut tidak sampai pada sebagian besar orang Jawa yang di kemudian
hari dikenal sebagai kaum Abangan. Mereka inilah yang merupakan sebagian
besar penduduk Jawa yang berislam KTP dan mereka tidak mengerti ajaran Islam
maupun Kejawen. Mereka pada umumnya menjadi mayoritas diam (silent
majority). Padahal, merekalah yang dapat menjadi kekuatan nasionalisme NKRI
bila mereka memahami dan menghayati ajaran Kejawen.
Menurut Kodiran, kebudayaan spiritual Jawa yang
disebut Kejawen memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama,
orang
Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Mereka bersifat nrima (menerima) takdir sehingga mereka menjadi tahan
dalam hal menderita.
Kedua,
orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda seperti keris,
kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan
(dibersihkan) pada hari Jumat Kliwon bulan Suro dengan upacara siraman.
Ketiga,
orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada di sekitar
tempat tinggal mereka. Roh halus dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka
dihormati dengan melakukan selamatan dan sesaji pada waktu-waktu tertentu.
Sifat-sifat tersebut membuat NKRI
tidak segera ambruk setelah ditimpa krisis multidimensi sejak 1998. Pada
umumnya orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah
muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan
selamatan merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam
sekelilingnya. Di zaman modern tentunya sifat-sifat tersebut harus diarahkan
pada hal-hal yang produktif, seperti kemampuan untuk bertahan hidup menerima
penderitaan diubah menjadi kemampuan untuk berjuang keras yang bersifat
“menjemput bola” dan bukan hanya menunggu bola.
Kepercayaan terhadap benda-benda
magis diubah menjadi diri yang sugestif dalam mencapai keberhasilan. Bila
benda-benda saja bisa memiliki kekuatan maka diri manusia tentunya memiliki
kekuatan yang lebih dahsyat. Selamatan harus diarahkan untuk menjadi wahana
pertemuan non-formal untuk membangun solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Dalam hal ini diperlukan pimpinan yang bersifat seperti Semar
yaitu sosok pemimpin yang dapat momong dan ngayomi. Dari sinilah lahir sifat
dan sikap hidup ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani. Inilah sejatinya ajaran Kejawen. Dan, ajaran ini justru
amat sesuai dengan apa yang digariskan dalam Alquran.
Selain itu, ada inti ajaran Kejawen
adalah amemayu hayuning bawana, dan ajaran ini telah dimuat dalam
Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032). Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa
menggambarkan tugas pimpinan adalah untuk berbuat jasa memperbaiki dan
memakmurkan dunia seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan Pakubuwana
IX (1861 – 1893) menggubah bait tersebut dalam Serat Wiwaha Jarwa menjadi “amayu
jagad puniki kang parahita, tegesé parahita nenggih angécani manahing lyan wong
sanagari puniki”. (Melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita,
arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini.)
Tugas
hidup amemayu hayuning bawana oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar
Dewantara dikembangkan menjadi mahayu hayuning sarira, mahayu hayuning
bangsa, mahayu hayuning bawana (memelihara dan melindungi keselamatan
pribadi, bangsa, dan dunia). Tugas amemayu hayuning bawana
jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai pemimpin. Dalam tinjauan
Islam setiap orang adalah pemimpin dan kepemimpinanannya akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan semesta alam (Hadis). Setiap orang adalah
khalifah alias wakil Tuhan semesta alam di bumi ini, oleh karena itu manusia
harus bertanggung jawab atas kekhalifahannya. (Q. 6:165)
Agar
setiap orang bisa bertanggung jawab atas kekhalifahannya itu, Syekh Siti Jenar
mengajarkan makrifat sebagai ilmu menjadi makrifat sebagai laku. Syekh
juga menjarwakan ketiga pilar agama Islam -yaitu Rukun Islam, Rukun Iman dan
Ihsan- menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya diwujudkan dalam laku
yang disebut amal saleh. Syekh mengingatkan setiap orang agar dalam hidup ini
tetap éling, sadar dan menyadari kebenaran hidup.
Syariat yang berupa Rukun Islam
yang masih berada di awang-awang, oleh Syekh dijabarkan dalam praktik
kehidupan. Syahadat Tauhid adalah komitmen atau janji untuk tidak menghambakan
diri kepada apa pun, tidak mempertuhan benda atau pikiran kita sendiri.
Syahadat Rasul adalah mewujudkan empat sifat Rasul -yaitu shiddîq, fathânah,
amânah dan tablîgh- dalam kehidupan ini. Orang yang shiddîq
itu bersifat jujur dan berbudi benar sesuai dengan waktu dan tempatnya. Fathânah
adalah sikap hidup untuk berbuat dan bertindak cerdas dalam kehidupan ini,
sehingga tidak menimbulkan kezaliman dan penderitaan baik bagi orang lain
maupun dirinya. Dalam hidup ini setiap orang harus amânah, yaitu menjaga
dan bertanggung jawab terhadap apa yang dititipkan atau tugas yang diembannya.
Kemudian, semua sikap tadi harus
diiringi dengan sikap hidup tablîgh, yaitu mengantarkan amanat hingga
sampai tujuan. Dengan demikian, seseorang yang mengemban amanat atau titipan
haruslah bertanggung jawab penuh terhadap amanat itu, dan sedikit pun tidak
menyembunyikannya serta tidak melakukan kezaliman terhadap apa yang
dikuasainya. Keempat sikap hidup tadi merupakan syarat pokok dalam pelaksanaan
manajemen modern. Dengan keempat sikap hidup atau laku tersebut kita akan mampu
membangun kejayaan negeri ini. Jadi, bila negeri yang mayoritas warganya
beragama Islam tetapi hidup penuh derita dan bencana, berarti belum meneladani
Rasulnya.
Salat merupakan komitmen manusia
kepada Tuhannya. Oleh karena itu, orang yang menegakkan salat adalah orang yang
berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar (Q. 29:45).
Jadi, jelas sekali bahwa salat bukanlah semata-mata melakukan seperangkat
gerakan ritual. Kalau hanya bersifat ritual kita tak akan bisa meraih
kemenangan dalam hidup ini. Dan, ayat-ayat tentang salat akan tidak sambung
dengan kehidupan ini bila tidak dipahami sebagai komitmen untuk menjalankan
aturan dan tata-tertib dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Puasa
Ramadhan merupakan momentum untuk melatih diri agar menjadi orang yang mampu
menaati hukum dan undang-undang (Q. 2:183), menjadi orang yang pandai bersyukur
dalam arti selalu berusaha untuk menciptakan nilai tambah dalam hidup ini (Q.
2:185), menjadi orang yang mampu hidup yang benar dan pener (Q. 2:186). Namun,
umat Islam di Indonesia ternyata tidak memahami hakikatnya puasa, dan hanya bisa
meniru praktik puasa yang dijalankan di Timur Tengah. Puasa ala orang Timur
Tengah jelas tidak akan bisa menjadi solusi dalam kehidupan modern.
Bagi
Syekh zakat jelas bukanlah upaya menyisihkan 2.5% dari harta bersih yang
terkumpul selama setahun dan setelah mencapai nisabnya, 2.5% harta itu
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Syekh
memahami betul bahwa zakat dalam terminologi Alquran adalah tindakan menjaga
komitmen agar tetap murni, bersih dari segala unsur pamrih. Oleh karena itu,
perintah zakat selalu mengikuti perintah penegakan salat. Apa yang disebut
zakat dewasa ini sebenarnya sedekah. Dan, bila itu sedekah, maka kita harus
bisa menyisihkan sebagian harta untuk menolong orang yang membutuhkannya. Dan,
bila ini yang dipahami, maka zakat yang kita kenal dewasa ini bisa dikelola
dengan cara modern yang harus dilandasi keempat sifat Rasul.
Yang terakhir adalah ibadah haji.
Sebagai rukun Islam, tentunya harus dilakukan oleh setiap orang, tidak peduli
ia kaya ataupun miskin harta. Haji adalah kewajiban bagi orang yang mampu
mengetahui perjalanan ruhani sehingga ia mampu mencapai tingkatan spiritual
Ibrahim. Sayangnya, dewasa ini para pelaku haji hanya bisa mengikuti arus
ritualnya. Kalau ini yang dilakukan maka umat Islam tak akan mampu menjawab
tantangan zaman. Justru yang dilakukan adalah pemborosan devisa negeri ini.
Dalam hal pengejawantahan Rukun
Iman Syekh tidak terjebak pada istilah. Dengan beriman kepada Allah sebagai
rukun yang pertama, Sykeh mengajak para muridnya untuk mengabdi kepada Yang
Baka dan Abadi. Oleh karena itu, beriman kepada Allah harus diwujudkan dalam hidup
lahir dan batin sama. Iman dan perbuatan harus klop. Yang tampak di alam lahir
merupakan manifestasi yang ada di batin.
Iman kepada malaikat haruslah diwujudkan dalam upaya
mengeksplorasi bakat, potensi dan keahlian yang ada di dalam dirinya. Jadi,
keimanan kepada malaikat harus menjadi sumsum dan darah dalam kehidupan. Oleh
karena itu, keimanan kepada malaikat harus diiringi dengan keimanan kepada
kitab-kitab-Nya. Ada 2 macam kitab Allah yaitu kitab yang berupa teks yang
disampaikan kepada para nabi dan kitab yang digelar di jagad raya ini, kitab
yang tertulis dan yang ada di dalam kesadaran (dada). Kedua kitab itu harus
dibaca (di-iqra) benar-benar (Q. 96:1-5). Kemudian, kita harus
beriman kepada para rasul, dan tentunya rasul yang diimani adalah rasul yang
hidup dan tetap aktual. Penutupnya adalah iman kepada hari akhir dan takdir.
Dalam hal ini, manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan wadah bagi
kodrat dan irodat Tuhan, dan hal ini harus diwujudkan dalam tataran lahiriah
dan batiniah.
Semua Rukun Islam dan Rukun Iman
itu harus diwujudkan dalam bentuk laku lahir dan batin yang dilandasi sikap
ihsan, tulus tanpa pamrih. Jadi, bagi seorang Islam pelaku Kejawen, syariat
bukanlah sebentuk ritual semata-mata. Syariat, thariqat, dan hakikat sudah digulung
menjadi satu dalam wujud perbuatan lahiriah untuk amemayu hayuning sarira,
bangsa dan bawana. Dengan demikian manusia Kejawen adalah manusia yang
sanggup keluar dari krisis kehidupan dan mampu mengatasi tantangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar