1. Riwayat Jerome
Bruner
Jerome. Seymour. Bruner |
Jerome seymour
bruner yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1915 adalah seorang psikolog Amerika
Serikat yang memberi andil bagi teciptanya psikologi kognitif dan teori
pembelajaran kognitif dalam psikologi pendidikan, sejarah, dan pada filsafat
pendidikan umum. Ia adalah seorang peneliti senior di New York University
School of Law. Ia menerima gelar BA pada tahun 1937 dari Dake University dan
Ph.D dari Harvard University pada 1941 dibawah bimbingan langsung dari gordon
Allport.[1]
Jerome Bruner
merupakan salah satu psikolog terkenal dan berpengaruh pada abad ke-20. Ia
adalah salah satu figur kunci dalam revolusi kognitif dan dari bidang
pendidikan inilah pengaruhnya sangat terasa. Bukunya The Process of
Education dan Toward a Theory of Intruction telah dibaca banyak
kalangan dan diakui sebagai karya klasik. Sedangkan karyanya tentang program
kajian sosial, yakni Man; a Course of Study (MACOS) PADA pertengahan
1960-an menjadi penanda dan pelopor dalam perkembangan kurikulum. Ia bahkan
menjadi kritis dengan revolusi kognitif dan memandang bahwa bangunan psikologi
kultural telah mempertimbangkan secara tepat konteks historis dan sosial dari
para peserta pendidikan.[2]
Jerome Bruner
yang lahir di New York City ini, selama Perang Dunia II bekerja pada bidang
propaganda dan prilaku populer untuk Angkatan Darat Amerika Serikat dimarkas
besarnya yang dipimpin oleh jendral Dwight D.Eisenhower di perancis. Setelah
menjadi anggota dari sebuah perguruan tinggi, ia bertindak sebagai professor
psikologi dan pendiri bersama dan direktur dari Pusat Kajian Kognitif Pada
tahun 1972, Jerome Bruner meninggalkan Harvard untuk mengajar selama beberapa
tahun di Universitas Harvard sebagai professor tamu pada tahun 1979 dan dua
tahun kemudian mengajar di Sekolah baru Untuk penelitian sosial di New York
City.[3]
Banyak teori
yang sudah diberikan oleh Bruner bagi dunia pendidikan. Ia menjadi salah satu
bapak pendiri teori konstruktivisme. Konstruktivisme adalah sebuah
kerangka konseptual luar dengan beragam perspektif, dan ia adalah satu-satunya
orang yang dapat menjelaskannya[4]
2.
Karya - karya
J.S. Bruner
Pada tahun
1996, ia mempubikasikan The Culture Education.Buku ini merefleksikan
perubahan – perubahan berbagai sudut pandangnya sejak dekade 1960-an. Ia
mengadopsi sudut panjang bahwa budaya membentuk pikiran dan memberikan bahan
mentah yang menarik dunia kita dan konsepsi diri kita, Dan dalam The Process
of education (1960), ia menegaskan bahwa dengan memberikan metode
pengajaran yang tepat, setiap siswa bisa dengan sukses belajar beberapa mata
pelajaran pada setiap tahapan perkembangan intelektualnya.[5]
Karya Bruner
yang lain adalah The Relevance of Education (1971) yang menerapkan teori
– teorinya pada perkembangan anak.[6]
Bruner juga
menunjukan perubahan filosofis selama bertahun – tahun. Mengenai perubahan ini,
Lynda Malm (1993: 68) menyatakan bahwa buku Jerome Bruner pada tahun 1990,
yakni Act of Meaning merupakan sebuah tantangan bagi psikologi psikologi
kognitif. Pernyataanya menimbulkan pengaruh bahwa ada sebuah dimensi kehidupan
manusia yang signifikan, yaitu dimensi makna yang psikologi kognitifnya tidak
bisa di tunjukan.[7]
3.
Proses Belajar
Mengajar Menurut Jerome.S.Bruner
Pendirian yang
terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarkan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada
setiap anak dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan
sebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual
anak. Berhubungan dengan hal itu, antara lain:
Jean Piaget |
Perkembangan
intelektual anak
Menurut
penelitian J. Piaget, perkembangan
intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1.
Fase
pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan
dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang
tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena
itu ia belum dapat memahami dasar matematika dan fisika yang fundamental,
bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini
kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangat
terbatas.
2.
Fase operasi
kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada
taraf operasi kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung
dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak
dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami
sebelumnya.
3.
Fase operasi
formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung
dihadapinya sebelumnya.[8]
Tahap-tahap
dalam proses belajar mengajar, Menurut Bruner, dalam proses belajar siswa
menempuh tiga tahap, yaitu:[9]
1.
Tahap informasi
(tahap penerimaan materi) Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar
memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. “The
act of learning. Learning a subject seems to involve three almost simultaneous
processes. First there is acquisition of new information - often information
that runs counter to or is a replacement for what the person has previously
known implicitly or explicitly. At the very least it is a refinement of
previous knowledge.”[10](Tindakan
pembelajaran. subjek
Pembelajaran tampaknya melibatkan
tiga proses yang hampir
bersamaan. Pertama ada pengambil
alihan informasi baru -
sering kali informasi
itu bertentangan
dengan atau pengganti
apa yang orang sebelumnya
telah diketahui
secara implisit maupun eksplisit.
Setidaknya itu
merupakan penyempurnaan dari pengetahuan
sebelumnya).
2.
Tahap
transformasi (tahap pengubahan materi) Dalam tahap ini, informasi yang telah
diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang
abstrak atau konseptual “A second aspect of learning may be called
transformation - the process of manipulating knowledge to make it fit new
tasks. We learn to "unmask"or analyze information, to order it in a
way that permits extrapolation or interpolation or conversion into another
form. Transformation comprises the ways we deal with information in order to go
beyond it ”..[11](Aspek
kedua dari pembelajaran dapat disebut transformasi yaitu proses memanipulasi
pengetahuan untuk membuatnya sesuai dengan tugas-tugas baru. Kita belajar untuk
"membuka kedok" atau menganalisa informasi, untuk itu cara yang
memungkinkan adalah ekstrapolasi atau interpolasi atau konversi ke dalam bentuk
lain. Transformasi meliputi cara kita menghadapi informasi dalam rangka
melampaui itu).
3.
Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana
informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami
gejala atau masalah yang dihadapi. “A third aspect of learning is
evaluation: checking whether the way we have manipulated information is
adequate to the task. Is the generalization fitting, have we extrapolated
appropriately ,are we operating properly Often a teacher is crucial in helping
with evaluation, but much of it takes place by judgments of plausibility
without our actually being able to check rigorously whether we are correct in
our efforts.”[12]
(Aspek ketiga dari
pembelajaran adalah
evaluasi: memeriksa
apakah cara kita memanipulasi
informasi telah memadai
untuk tugas. Apakah generalisasi
tersebut sesuai, dapatkah
kita harus ekstrapolasi dengan
tepat, kita beroperasi
dengan benar Seringkali seorang
guru sangat menentukan dalam
membantu dalam evaluasi,
tetapi sebagian besar itu
dilakukan dengan putusan yang masuk
akal tanpa kita benar-benar
mampu untuk memeriksa meneliti
apakah kita sudah
benar dalam upaya kita).
[8]
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. 2000, hal.7-8
[9]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2003, hal.110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar