Sebagaimana
sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan
syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan
dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam
menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana
tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi
mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam
tradisi dankepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika
ada orang yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke
rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya.
Dari tradisi itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan
tahlil.
Sebagaimana
sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku
Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tidak ada sumbernya dalam
ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000
hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama
Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran
Islam.
Muhammadiyah
menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu
disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari
metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang
model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam tanya
jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau
tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu
Tahlil
yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu
tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti
tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya.
Di masyarakat umum juga berkembang bentuk -bentuk tahlil dan salah satunya
adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
ilustrasi tahlilan |
Muhammadiyah
yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam
pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat
memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus
ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi
pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan
terletak pada membaca kalimat la
ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1.
Mengirimkan
bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang
meninggal,
2.
Bacaan
tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan
argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi
Pertama:
Bahwa
mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada
tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul. Muhammadiyah
berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang
harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang
artinya:
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku
untuk
melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.”
[HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat
sebuah artikel yang berjudul
―Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?‖, sebuah artikel yang bersumber dari MTA -online. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi
Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang
yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati
kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak
sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa
padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati
kematian pamannya dan para sahabatnya.
Demikian
pula setelah Rasulullah SAW wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum
ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati
kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab
sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad SAW
dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati
kematian Rasulullah saw.
Dalil
aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati
kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian,
berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang
menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?Selain
itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari
hadist Rasulullah saw, yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Apabila manusia telah mati, maka
putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu
yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
sedekah |
Berkaitan
dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau kalangan yang
membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan
mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang
sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi
mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada
tuntunannya sama sekali.
Argumentasi
kedua:
Selain
dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan
argumentasinya pada al-Qur‘an surat an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, yang mana
dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah dikerjakannya
sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya:
Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا
بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Artinya:
Dan
orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur
(52): 21]
Dalam
menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip
pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di
sana dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit)
tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam dalam alQur‘an
Surat
an-Najm ayat 39 di atas.Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al
Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan
keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa
Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang
akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya
sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.
(Al Umm juz 7, hal 269)
Dasar
selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam,yaitu berkumpul
(di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu
malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan
Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si
mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al
Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286)
Sebagaimana
sudah menjadi keputusan Tanrjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada
yang meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetagga atau kerabat
dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far,
ia berkata, yang artinya:
Setelah datang
berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda:
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada
mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”.
(H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Dikutip dari : FIQH AL-IKHTILAF
NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar