Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut
kalimah ―syahadah‖
yaitu -La ilaha illa Allah‖ . Dalam konteks
Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian
kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia
berdoa |
Di
atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa
tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana
ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan
tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui
Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran
kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil di’itilahkan sebagai rangkaian
kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Sebenarnya tahlil bisa dilakukan
sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah. Dalam
buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu
kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat
suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah)
secara bersama-sama.
Biasanya
acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh
harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke
-40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun
dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah
pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para
jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan
matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat,
bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan,
seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan
sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal
dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam
menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil
Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan
dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya,
berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh
Wali Songo (sembilan pejuang Islam di
tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan
dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu
yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan,
hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada
orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau
mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut,
tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan
mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak
dikenal sebelum Wali Songo.
Warga
NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang
dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa
Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknyaterus
dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan
ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau
kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah
dilakukannya tahlil, yaitu, pertama,
hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah,
dengan meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari
kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama,
bahwa
dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan
secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta
hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan,
juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam
sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin
Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya,
“Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang
baik dan menyuguhkan makanan.‖ (HR Ahmad)
Menurut
NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis,
memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya
boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk
ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya
termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada
orang telah meninggal.
Dan
lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di
balik jamuan tersebut, yaitu
ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi
musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain
disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu
Abbas, sesungguhnya ada seorang
laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?"
Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun,
maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas
nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Pembolehan
sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang
dengan tegas mengatakan bahwa sebaik -baik amal yang dihadiahkan kepada mayit
adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala
membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga
akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. Namun
demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka kemampuan
ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi
jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu
secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam
acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil
harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis.
Semua
jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya
bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit.
Dalam
buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah
pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah
ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW.
bersedekah |
“Sesungguhnya
ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah.
Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‗alaih)
Perintah
Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain.
Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah
putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah
tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga
ketika jasad sudah ditinggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa
rasulullah SAW.bersabda:
'Tatkala
manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal
Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil
lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar
pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya,
Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil
Nafis, yang artinya sebagai berikut:
―Sungguh para ahli fiqh telah
berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang
sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw,
seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk
keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa
bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah
saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari
ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu
benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut
dikirimkan kepadanya!"
Jadi,
menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima
oleh Allah.
Argumentasi
selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa
atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana
apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw. Bahwa ummat
Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi
juga untuk orang yang sudah meninggal
Allah swt berfirman:
Artinya:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Orang-orang
yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan
Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
KH
M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang
lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan
sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil
dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar,
kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia
baik yang bertalian dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran
prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak. Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu
syarat dan rukun.
Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil
adalah:
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai
ayat 5
5. Surat al-Baqarah ayat 163
6. Surat al-Baqarah ayat 255
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat
284 sampai ayat 286
8. Surat al-Ahzab ayat 33
9. Surat al-Ahzab ayat 56
10. Dan sela-sela bacaan antara
Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun
bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan
1. Surat al-Baqarah ayat 286
2. Surat al-Hud ayat 73
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah
6. Tasbih
Seperti, misalnya sebuah hadis yang
mengatakan bahwa ―orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan
dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca surat Yasin
secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW
dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya umat
islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang telah meninggal dunia. Dari
Mu‘aqqol ibn Yassar r.a: "barang
siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati
diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman)
Kemudian,
tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan,
juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan
kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalamdisini, yang juga
menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan
kepada mayit. Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat,
sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya
pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad
saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada
orang yang meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A
Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu
'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan:
"Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.‖
Ibnu 'Abidin telah bertaka
sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar
'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita
mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang
lain, maka termasuk di dalamnya hadiah. kepada
Rasulullah SAW Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang
lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah
tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas
budi baiknya.
membaca Al-quran |
Bukankah
seorang yang kamil (tinggi derajatnya)
memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil
sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis
masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah
masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia
bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk
bershalawat Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat
Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam
kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang
mengatakan:
"Menurut saya boleh saja
seseorang menghadiahkan bacaan Al -Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi
SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahalasemua kebaikan yang dilakukan
oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para
sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an
termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU,
menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas
membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan
kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain
hadiah al-Fatihah, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di
Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian
kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU dipastikan
ada pembacaan tahlil.
Haul
adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan
untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para
tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah
berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan
makam keluarga Baqi‟. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang
telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh
Al-Wakidi disebutkan bahwa: Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai
di Syi‟ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap:
Assalâmu‟alaikum
bimâ shabartum fani‟ma
uqbâ ad-dâr. (Semoga
kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan.
Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman
juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah)
Para
ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan.
Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam
artikelnya, menjelaskan, para Sahabat
dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang
meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan
secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu
sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari
para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat
keagamaan.
Demikianlah
pendapat NU mengenai tahlil, yang
intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang
mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau
tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga
membaca ayat suci al-Qur‘an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak
lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.
Dikutip dari : FIQH AL-IKHTILAF
NU-MUHAMMADIYAH / M. Yusuf Amin Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar