----------SUGENG RAWUH----------

Selasa, 01 Oktober 2013

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang  yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.
Keberadaan wayang, baik itu wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek dan juga beragam wayang (setidaknya ada lebih dari 40 jenis wayang) di tanah air indonesia ini telah menjadi khasanah tersendiri. Wayang yang pada tanggal 7 November 2003, resmi diakui sebagai warisan budaya Indonesia ini menjadi saksi tinggina kebudayaan dimasa lampau.
ilustrasi prasasti balitung
Darimana awal mula wayang, kaitannya dengan kisah mahabarata dan ramayana yang notabene berasal dari tanah india? Berikut sejarah singkat tentang sejarah singkat perkembangan wayang di Indonesia.
Mengenal lebih lanjut tentang wayang
Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
Menurut Suyanto, sejatinya wayang merupakan media yang digunakan Wali Songo, untuk menyebarkan Islam di nusantara. Cikal bakal wayang berasal dari wayang beber, yang gambarnya mirip manusia dan lakonnya bersumber dari sejarah sekitar zaman Majapahit.
ilustrasi zaman majapahit
Saat itu, menurut Suyanto, Kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam, melarang wayang dipertunjukkan dengan gambar mirip manusia. Lalu, papar dia, Wali Songo berinisiatif mengubah gambar wayang menjadi gambar karakteristik. “Apa ada manusia yang hidungnya sangat panjang dan tangannya hampir mencapai kaki ?” tuturnya.
Wayang dinilai sebagai media dakwah Islam yang sukses di Indonesia. Menurut Suyanto, keberhasilan wayang sebagai media dakwah dan syiar Islam pada zaman Walisongo terletak pada kekuatan pendekatannya terhadap masyarakat. Wayang, kata dia, mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat yang saat itu animisme, dinamisme, serta menganut Hindu, karena menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, paedagogi, hingga politik.
“Dulu, wayang dipertunjukkan di masjid, masyarakat bebas untuk menyaksikan, namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid,” ungkap Suyanto.
Hal senada diungkapkan dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Universitas Negeri Semarang (Unnes) Widodo MSn. Menurut dia, perkembangan wayang sebagai media dakwah Islam ditopang oleh sekelompok tokoh ulama yang besar peranannya dalam mendirikan Kerajaan Demak. Mereka yang dikenal dengan sebutan Walisongo (sembilan wali).
Kesembilan wali yang bergelar sunan itu adalah Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gresik. Mereka adalah para ulama yang sangat terkenal khususnya di Jawa, sebagai penyebar ajaran Islam.
Menurut Widodo, para wali tak hanya berkuasa di dalam keagamaan, tetapi juga berkuasa dalam pemerintahan dan politik. Selain itu, mereka juga pengembang kebudayaan dan kesenian yang andal. “Oleh mereka kesenian Jawa berkembang hingga mencapai puncaknya yang kemudian dikenal dengan seni klasik. Salah satu kesenian yang hinga kini tetap populer adalah wayang kulit purwa,” paparnya.
Memang, wayang kulit merupakan produk budaya yang telah ada sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa. Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami perubahan. Menurut Widodo, budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya saja, tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa padalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.
Menurut Widodo, pengaruh Islam dalam wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan berkaitan pula dengan aspek lainnya yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa. Sehingga, kelestariannya patut untuk dijaga, karena merupakan salah satu bagian dari seni budaya bangsa yang menjadi saksi sejarah perkembangan bangsa, khususnya perkembangan agama Islam di Indonesia.
punakawan
Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-nanti para penonton. Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa (Punakawan). Dalam wayang golek terdapat peran Semar, Cepot, Dawala, serta Gareng.
Punakawan merupakan karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Kehadiran karakter lokal itu melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para kesatria, penghibur, kritik sosial, badut, bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.
Pendekatan ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh punakawan. Barangkali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab.
Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya “siap sedia”. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab
Ismar. Menurut orang yang berpendapat ini, lidah orang Jawa membaca kata is- menjadi se-. Contohnya seperti Istambul dibaca Setambul.
Ismar berarti paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada. Ia selalu tampil sebagai penasihat.
Lalu, ada yang berpendapat, Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata
Naala Qariin. Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti “memperoleh banyak teman”.
Dalam laman wayang.blogspot.com disebutkan, hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Bagaimana dengan Petruk? Ada yang berpendapat, Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Selain itu, ada juga yang berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata
Fatruk-kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, “Fat-ruk kulla maa siwalLaahi”
 (tinggalkan semua apa pun yang selain Allah).
Wejangan itu, menurut tulisan dalam laman wayang.blogspot.com, menjadi watak para aulia dan mubalig pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong, artinya kantong yang berlubang. “Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang,” papar tulisan itu.
Sedangkan Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan. Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata
Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.
Dalam pergelaran wayang, keempat tokoh Punakawan itu selalu keluar pada waktu yang tak bersamaan. Biasanya, tokoh Semar yang dimunculkan pertama kali, baru kemudian diikuti Gareng, Petruk, dan terakhir Bagong. Secara tak langsung urutan tersebut menunjukkan ajakan (dakwah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam.
Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan.” Selain Punakawan, istilah-istilah lain dalam pewayangan juga banyak berasal dari istilah Arab.
Astina yang diistilahkan sebagai nama kerajaan para penguasa yang lalim, diyakini lebih dekat dengan kata Asy-Syaithan. Rajanya, Duryudana, lebih dekat dengan kata Durjana. Setiap orang jahat (durjana), pasti akan menemukan kekalahan dan menjadi teman setan di neraka.
Ketika seorang dalam memainkan Bala Astina dalam pentas wayang, mereka selalu ditempatkan di sebelah kiri bersama-sama dengan para raksasa. Sedangkan Pandawa Lima selalu di sebelah kanan. Hal ini menggambarkan bahwa yang baik dan yang buruk itu berbeda.
Sementara itu, tokoh pewayangan yang dikenal kuat, perkasa, dan berjiwa kesatria adalah Bima. Ia memiliki kekuatan yang disebut Dodot Bangbang Tulu Aji dan Kuku Pancanaka. Kata Tulu Aji bermakna tiga aji atau tiga kekuatan. Maksud ajian itu adalah Bima diselimuti tiga ilmu, yaitu iman, Islam, dan ihsan.
Sedangkan Kuku Pancanaka merupakan kekuatan untuk melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku Pancanaka memiliki arti kekuatan Lima Waktu. Apabila kedua kekuatan itu digunakan, merupakan simbolisasi yang berarti apabila telah memiliki iman, Islam, dan ihsan, tak akan pernah meninggalkan shalat lima waktu.
Kata dalang sendiri diambil dari kata ‘dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar. Demikian juga kisah-kisah wayang yang dibuat oleh Walisongo kesemuanya menampilkan cerita Islami. Di antaranya cerita
Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk jadi Raja, dan Wahyu Hidayat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Batman Begins Background3D Letter R