“Riba”
secara bahasa adalah tambahan dan ada yang menyebutnya sebagai al-ruma’ dan ada
pula yang menyebutnya sebagai al-rubiyah. Riba menurut syari’at pula
adalah tambahan dengan sifat tertentu.
Macam-macam riba
Macam-macam
riba menurut sebagian besar ulama, terbagi menjadi dua, yaitu riba fadhl dan
riba nasi’ah.Sedangkan menurut Syafi’i secara garis besar riba dikelompokkan
menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli.
KELOMPOK PERTAMA terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun
kelompok kedua terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
- Riba Qardh
- Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih
dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
KELOMPOK DUA
- Riba Fadhl
Riba fadhl disebut juga
riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis
yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya,sama kuantitasnya, dan
sama waktu penyerahannya.
- Riba Nasiah
Menurut Sayid Sabiq,
riba Nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang menghutangi
dari orang yang berhutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaran utangnya.
Riba nasiah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil
usaha muncul bersama biaya. Contoh: Si A berutang
kepada si B sebanyak Rp. 1000 dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan.
Setelah habis masa sebulan A belum sanggup membayar utangnya karena itu ia
minta kepada si B agar bersedia menerima penangguhan pembayaran. B bersedia
memberi tangguh asal A menambah pembayaran sehingga menjadi Rp. 1300. Tambahan
pembayaran dengan penangguhan waktu serupa ini disebut riba nasiah.
Hadist dari Jabir (r.a), beliau
berkata: “Rasulullah (s.a.w) melaknat orang yang memakan harta riba, wakilnya,
penulisnya dan orang yang menyaksikannya.” Baginda bersabda: “Mereka semua
adalah sama.”(Diriwayatkan oleh Muslim: 850).
Amalan
riba adalah salah satu bentuk cara memakan harta orang lain dengan cara batil.
Setiap bentuk riba mengakibatkan konsekuensi, karena orang yang menjadi mangsa
riba tidak dapat meminta hartanya kembali.Akibat amalan riba yang merajalela sukar
memberi pinjaman kepada orang yang benar-benar memerlukannya. Ini adalah
perbuatan yang diharamkan yang wajib dibasmi dengan prinsip amar makruf dan
nahi mungkar. Oleh itu,Islam amat tegas melarang amalan keji ini, malah Allah
(s.w.t) berfirman:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. (Surah al-Baqarah: 279).
Banyak
lagi nas-nas al-Qur’an dan hadith yang melarang sekali tindakan riba, salah
satunya adalah hadith diatas di mana Allah melaknat orang yang memakan riba,
wakilnya, penulisnya dan orang yang menyaksikannya, bahkan kedudukan mereka
sama dalam memperoleh dosa.
Daripada
Abu Sa’id al-Khudri (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda:
“Jangan
kamu menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan jangan
kamu melebihkan satu timbangan dengan yang lain, jangan kamu menjual perak
dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan jangan kamu melebihkan satu
timbangan dengan yang lain, dan jangan kamu menjual keduanya di mana salah satu
daripadanya dijual tunai dan satunya lagi dijual secara mengansur.” (Muttafaq alahi: 853).
Hadith
ini merupakan salah satu kaidah yang mengharamkan riba fadhal(pertambahan
jumlah) dan riba nasa’ (pertambahan waktu) dalam berjual beli dan pertukaran
barang yang satu jenis, di mana salah seorang dari kedua belah pihak yang
bertransaksi tidak dibolehkan melebihkan timbangan maupun takaran dan tidak
dibolehkan menetapkan pembayaran kepada waktu yang lain selagi barang yang
diperjual belikan itu satu jenis.
Fiqh Hadith diatas
Dibolehkan
menjual atau menukar (jual beli sharf) emas dengan emas,perak dengan perak
dengan syarat masing-masing barang mestilah sama dan tidak boleh menetapkan
pembayaran (penukaran).
Haram
melebihkan salah satu barang terhadap barang yang satu jenis atau menetapkan
pembayaran (penukaran) karena penambahan dan penetapan merupakan salah satu
amalan riba, bahkan jika emas perhiasan ditukar dengan emas yang belum dibentuk,
maka takaran dan timbangannya mestilah tetap sama dan tidak dibolehkan meminta,
kecuali sama timbangan, takaran dan dilakukan secara tunai, dan tidak boleh
meminta bayaran lebih dengan alasan sebagai ongkos pembuatan. Inilah pendapat
ulama fiqh.
Jika
satu jenis barang ditukar dengan jenis barang yang sama tetapi salah satu
barang yang ditukar itu terdapat tambahan barangan yang lain seperti seseorang
yang menjual satu dirham dan sehelai baju dengan dua dirham, maka pertukaran
seperti ini tetap tidak dibolehkan. Inilah pendapat sebahagian sahabat,
tabi’in, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. Demikian pula jika seseorang
menjual satu mud 6 tamar ajwah dan satu mud bahan makanan saihani, dengan 2 mud
tamar ajwah, maka jual beli seperti ini tetap tidak dibolehkan menurut Imam
al-Syafi’i dan sekumpulan ulama. Perbahasan ini akan dibahas secara terperinci
dalam masalah mud‘ajuwah, karena hadith ini hanya membahas tentang pertukaran
antara emas dengan emas dan perak dengan perak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar